KELUHAN guru berkaitan kebijakan sertifikasi guru sudah sering diulas. Di blog ini juga sudah beberapa kali ditulis para kompasianer. Seorang kompasianer yang juga seorang guru pernah berkisah tentang nasib malang yang menimpa salah guru akibat kebijakan sertifikasi. Sedih memikirkannya.
Pertemuan sosialisasi pembayaran Tunjangan Profesi Guru (TPG) untuk para guru di Kabupaten Karimun beberapa waktu lalu (Rabu, 22/06) kembali mengusik perasaan saya. Sebagai guru, informasi tentang syarat pembayaran TPG yang disampaikan terasa ada yang tidak tepat.
Bukan saja karena ada guru yang ‘terpaksa’ dikorbankan jam mengajarnya karena mempertimbangkan guru-guru yang sudah memiliki sertifikat akan tetapi penjelasan tentang kewajiban mengajar 24 (dua puluh empat) jam tatap muka hanya untuk mata pelajaran yang sesuai sertifikat saja, inilah yang membuat dilema tersendiri. Di satu sisi, mata pelajaran tersebut belum ada gurunya sehingga harus diampu oleh guru jurusan/ sertifikat lain. Tapi di sisi lainnya konon, peraturannya tidak mengakui sebagai jam tatap muka yang dapat perhitungkan jumlah tatap mukanya.
Tentu saja menjadi pertanyaan besar, lalu siapa yang mau mengajar mata pelahjarasn itu jika tidak diakui sebagai penambah jam kurang tersebut? Sudah pasti, Kepala Sekolah akan membuat kebijakan pengalihan tugas mata pelajaran itu kepada guru yang ada dengan prioritas Mata Pelajaran serumpun bila mana ada mata pelajaran yang sudah ditetapkan dalam kurikulum tapi belum ada gurunya. Bahkan bisa jadi, demi kelancaran pembelajaran, untuk mata pelajaran yang tidak ada guru spesialisasi (sertifikat) itu boleh jadi akan dibebankan ke guru yang sama sekali tidak serumpun asal dia menguasai meterinya.
Peliknya kebijakan sertifikasi di lapangan bisa jadi tidak tergambarkan oleh pemegang dan pembuat kebijakan di pusat. Bila benar kewajiban mengajar tatap muka 24 jam itu hanya berlaku untuk mata pelajaran yang sama dengan sertifikat, maka akan banyaklah para guru di beberapa sekolah yang kebetulan dipercaya mengajar mata pelajaran lain yang disebabkan belum adanya guru tersebut menjadi gusar dan sedih.
Jika seorang guru harus mengajar 24 jam hanya mata pelajaran yang sama dengan jurusan/ sertifikatnya, disamping belum tentu cukup jumlah jamnya di sekolah tersebut juga harus dipertimbangkan mata pelajaran yang belum ada gurunya itu. Terbukti, di beberapa sekolah masih banyak kekurangan guru tertentu walaupun sudah berlebih untuk mata pelajaran tertentu lainnya. Benar ini karena kebijakan penempatan/ perekrutan yang salah, tapi jelas sekolah dan guru yang menjadi korbannya.
Ambil contoh, di sekolah A misalnya sudah berlebih guru MP Matematika, Fisika, atau Kimia tapi jam pelajarannya kurang. Solusinya biasanya sambil menunggu ada mutasi para pendidik ini juga mengampu mata pelajaran lainnya. Jika proses mutasi tidak juga terjadi, sementara guru untuk mengajar mata pelajaran seperti Mulok, Sosiologi atau Sejarah, misalnya juga tidak ada. Meskipun tidak serumpun, terkadang guru-guru IPA ini harus pula mengajar mata pelajaran IPS tersebut. Haruskah tidak diakui?
Kebijakan mulia untuk meningkatkan profesionalitas guru di satu sisi dan meningkatkan taraf hidup dan martabat guru karena tunjangan yang akan diterima, sesungguhnya malah menjadi jauh dari tujuan itu. Harapan menjadi guru profesional dengan tunjangan yang memadai sama sekali tidak akan terwujud untuk semua guru.
Seyogyanya ada fleksibiltas kewajiban tatap muka yang 24 jam itu untuk beberapa sekolah (kasus) yang menimpa guru. Seperti kebijakan untuk daerah terpencil dengan jumlah siswa yang terbatas, toh Pemerintah dapat membuat kebijakan khsus agar tunjangan sertifikasi ini tetap dapat dinikmati guru. Maka sekolah-sekolah di kota dengan problematika dan dilematika seperti di atas itu semestinya juga dapat diterapkan kebijakan khusus agar guru tidak dirugikan. Kalau tidak, kebijakan sertifikasi ini memang akan membuat sebagian guru tetap bersedih.***[sumber]